Faktaambon.id, NASIONAL – Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengambil keputusan penting terkait Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2015 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). MK memutuskan mengabulkan seluruh permohonan uji materi UU Tapera. Putusan ini terkait dengan perkara Nomor 96/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Konferensi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI).
Ketua MK, Suhartoyo, menyatakan secara resmi, “Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” pada Selasa (30/9/2025). Keputusan ini segera memberikan dampak signifikan bagi jutaan pekerja di Indonesia.
Poin Krusial: Masalah Kewajiban dan Tabungan
Salah satu poin utama gugatan KSBSI adalah ketentuan yang mewajibkan pekerja menjadi peserta Tapera. Pasal 7 ayat (1) UU Tapera yang menyebutkan kata “wajib” dinilai bermasalah. KSBSI menganggap kewajiban ini bertentangan dengan konstitusi. Khususnya, aturan tersebut dinilai melanggar Pasal 28D ayat 2, Pasal 28I ayat 2, dan Pasal 34 ayat 1 UUD 1945. Pasal-pasal ini menjamin hak setiap pekerja dan pekerja mandiri.
Hakim Konstitusi Saldi Isra menjelaskan mengapa istilah “tabungan” dalam Tapera menjadi bermasalah. Menurut Saldi Isra, adanya unsur paksaan melalui kewajiban menjadi peserta menyebabkan hakikat tabungan tidak terpenuhi. Hal ini bertentangan dengan prinsip kebebasan dalam menabung.
Alasan KSBSI Menolak Beban Iuran Tapera
KSBSI telah lama menyuarakan penolakan terhadap UU Tapera. Organisasi buruh ini mengajukan gugatan dengan beberapa alasan kuat. KSBSI menilai penghasilan pekerja, terutama buruh mandiri, masih relatif rendah. Upah buruh rata-rata hanya Rp2,9 juta, yang dinilai jauh dari kebutuhan hidup layak. Namun, mereka diwajibkan membayar iuran jaminan sosial yang cukup besar.
Alasan-alasan KSBSI mengajukan judicial review antara lain:
- Beban Ganda: Program Tapera dinilai tumpang tindih dengan program jaminan sosial yang sudah ada, yaitu BPJS Ketenagakerjaan.
- Kondisi Ekonomi: Beban iuran jaminan sosial yang tinggi membebani buruh dan pengusaha di tengah kondisi ekonomi yang sulit.
- Ketidakpastian Kerja: Hubungan kerja yang tidak pasti dengan risiko PHK tinggi membuat iuran jangka panjang menjadi beban.
- Diskriminatif: KSBSI menilai beban UU Tapera diskriminatif dan tidak adil. Pembiayaan untuk fakir miskin seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah, bukan dibebankan kepada buruh, apalagi di tengah kondisi inflasi yang tinggi.
Sebelumnya, pada Juli 2024, KSBSI bahkan menggelar unjuk rasa besar di Jakarta. Mereka menolak UU Tapera karena potongan upah dinilai membebani buruh di tengah kenaikan upah yang rendah. Putusan MK kabulkan gugatan UU Tapera ini menjadi kemenangan besar bagi serikat pekerja dan buruh.
(*Drw)













