Faktaambon.id, AMBON – Praktik penyelewengan Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi kembali marak terjadi di SPBU Jalan 28 Oktober, Pontianak Utara, Kalimantan Barat.
Truk-truk “siluman” tanpa izin resmi mengantre panjang untuk mendapatkan solar bersubsidi, yang sesungguhnya diperuntukkan bagi kendaraan berstatus tertentu seperti alat berat, kendaraan dinas pemerintah, dan armada pertanian.
Meskipun Pertamina Patra Niaga Kalimantan Barat telah memberlakukan sanksi tegas berupa pencabutan kuota dan blokir sementara, para pelaku tetap nekat karena keuntungan ilegal yang mencapai puluhan juta rupiah setiap hari.
Para sopir truk “siluman” memanfaatkan celah dalam sistem antrean di SPBU, kadang menggunakan kendaraan alterasi nomor polisi atau bekerjasama dengan oknum petugas SPBU.
Dalam sekali pengisian, mereka bisa memperoleh ratusan liter solar bersubsidi yang kemudian dijual kembali ke pasar gelap dengan harga selisih Rp1.000–Rp1.500 per liter.
Dampak ekonominya bukan hanya merugikan negara—dalam bentuk hilangnya potensi subsidi—tapi juga menimbulkan kelangkaan bagi pelaku usaha angkutan barang yang benar-benar memenuhi syarat.
Beberapa waktu lalu, Wakil Gubernur Kalimantan Barat, Krisantus Kurniawan, mengusulkan agar masyarakat menolak penggunaan sistem barcode dalam pembelian BBM.
Ia berargumen bahwa kebijakan tersebut lebih menguntungkan “mafia BBM” daripada konsumen.
Baca Juga: KPK Panggil Pokmas Srikandi Situbondo Terkait Dugaan Korupsi Wasbang Fiktif DPRD Jatim
Pernyataan ini berbuntut kontroversi dan menuai kritik dari kalangan pengusaha transportasi.
Menurut Efendi, Wakil Ketua Organda Kalbar, barcode justru membantu mengurangi keluhan kelangkaan solar bersubsidi karena tiap kendaraan tercatat digital, sehingga antrian menjadi lebih teratur.
Namun, Efendi menekankan perlunya pengawasan lapangan yang lebih ketat. Sistem distribusi berbasis barcode membuat pelaku penyelewengan terdigitalisasi, tetapi jika tidak disertai inspeksi rutin dan sanksi nyata bagi oknum penyedia BBM gelap, praktik ilegal ini akan terus berulang.
Sopir angkutan barang kadang terpaksa menginap di SPBU demi antrean, sehingga mengganggu produktivitas dan menambah beban biaya operasional.
Untuk menuntaskan persoalan ini, diperlukan sinergi antara pemerintah daerah, aparat penegak hukum, dan Pertamina.
Langkah strategis seperti penerapan GPS pada armada, penguatan pelaporan masyarakat, serta transparansi kuota BBM dapat menekan celah penyelewengan.
Tanpa langkah komprehensif, “musim” antrean truk siluman dan peredaran solar gelap akan terus terulang—membebani pelaku usaha dan merugikan anggaran negara.[tim]