Faktaambon.id, NASIONAL – Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB), yang diresmikan Presiden Joko Widodo sebagai era baru transportasi publik, kini menghadapi masalah finansial serius. Direktur Utama PT KAI, Bobby Rasyidin, secara terbuka mengeluhkan kerugian besar proyek ini di hadapan Komisi VI DPR (20/8/2025). Ia bahkan menyebut kondisi ini sebagai “bom waktu” bagi perusahaan dan keuangan negara.
Kerugian KCJB yang dilaporkan pada tahun 2024 mencapai Rp4,195 triliun (gabungan PT KCIC dan KAI). Angka ini terus membengkak secara signifikan. Data semester pertama 2025 (unaudited) menunjukkan kerugian sudah menembus angka Rp1,625 triliun. Situasi ini memicu polemik. Hal ini mengingat janji awal proyek ini adalah murni bisnis-ke-bisnis (Business-to-Business atau B-to-B) tanpa jaminan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Perubahan Skema dan Pembengkakan Biaya Proyek
Publik mempertanyakan komitmen awal proyek ini. Saat China memenangkan tender atas Jepang pada 2015, janji utamanya adalah proyek akan berjalan tanpa jaminan pemerintah. Namun, proyek yang molor dari target 2019 ke 2023 ini mengalami pembengkakan biaya (cost overrun). Biaya awal naik drastis dari USD 5,5 miliar menjadi USD 8 miliar (sekitar Rp114 triliun).
Janji “tanpa APBN” pun berubah di tengah jalan. Perubahan ini terjadi setelah diusulkan oleh Menteri BUMN Erick Thohir dan Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan, yang kemudian dilegalkan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) oleh Menkeu Sri Mulyani. Akibatnya, PT KAI, sebagai pemimpin konsorsium BUMN (PSBI), menanggung beban terbesar dan menderita Kerugian KCJB yang signifikan.
Opsi Penyelesaian Utang Kereta Cepat Tanpa Bebani Negara
Saat ini, berbagai opsi penyelesaian Utang Kereta Cepat sedang diperdebatkan. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa telah menegaskan prinsip bahwa APBN tidak boleh digunakan untuk menambal utang KCIC.
Oleh karena itu, solusi yang dinilai lebih sehat secara korporasi adalah renegosiasi dan restrukturisasi utang. Upaya ini harus dilakukan antara PT KCIC dengan kreditur China (CDB dan ICBC). Proses ini dapat difasilitasi oleh BPI Danantara. Tujuannya adalah meringankan beban finansial yang ditanggung BUMN.
Opsi lain yang dinilai konstitusional adalah kebijakan delusi saham. Dalam opsi ini, PT PSBI mengalihkan sebagian kepemilikan sahamnya. Ini bertujuan untuk mengurangi beban Utang Kereta Cepat tanpa membebani kas negara. Yang dibutuhkan dalam mencari solusi ini adalah profesionalisme yang tinggi, bukan jalan pintas politik yang hanya akan memindahkan beban kerugian ke masyarakat.
(*Drw)













