Faktaambon.id, NASIONAL – Kesepakatan dagang baru senilai US$19,5 miliar antara Indonesia dan Amerika Serikat membawa industri kelapa sawit nasional pada persimpangan krusial. Pemerintah kini dihadapkan pada pilihan sulit: menggenjot ekspor CPO ke AS atau mengamankan pasokan domestik untuk program biodiesel B50 yang ditargetkan berjalan pada tahun 2026.
Pilihan ini bukan sekadar soal perdagangan, tapi juga menyangkut strategi energi nasional, nasib petani, serta keberlanjutan lingkungan di masa depan.
Tantangan Peluncuran Biodiesel B50 pada 2026
Program B50 dipandang sebagai bagian dari upaya transisi energi hijau dan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil. Selain menjaga ketahanan energi nasional, program ini juga bertujuan menstabilkan harga Crude Palm Oil (CPO) bagi petani.
Namun, realisasinya tidak mudah. Jika diluncurkan tahun depan, permintaan CPO dalam negeri akan meningkat hingga 3 juta ton tambahan. Ini menuntut kesiapan produksi dari sektor hulu hingga hilir.
Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI) memperingatkan bahwa untuk memenuhi target tersebut, kapasitas produksi biodiesel nasional yang kini sekitar 19,6 juta kiloliter harus ditambah 4 juta kiloliter lagi, sebab tingkat utilisasi saat ini hanya mencapai 85%.
Di sisi lain, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menyoroti risiko terhadap ekspor. Tanpa dukungan kebijakan yang seimbang, peningkatan konsumsi domestik bisa mengurangi modal untuk replanting dan program keberlanjutan industri sawit.
Ekspor CPO ke AS vs Energi Domestik: Pilihan Berat
Jika pemerintah lebih memilih peluang ekspor sawit ke AS, maka devisa negara akan bertambah. Namun, hal itu bisa mengancam pasokan CPO untuk biodiesel, menggoyahkan fondasi energi hijau nasional.
Diperlukan skema insentif adil agar petani dan pelaku industri hilir tidak dirugikan oleh kebijakan yang berpihak pada salah satu sisi.
Di sisi makroekonomi, program B50 diyakini akan:
Menstabilkan harga CPO menjelang 2026
Menyerap surplus produksi dalam negeri
Menahan dampak tarif impor baru AS sebesar 19% yang berlaku mulai Agustus 2025
Namun, ekspansi sawit untuk dua kepentingan besar—ekspor dan energi—berisiko memperparah deforestasi dan konflik agraria jika tidak disertai tata kelola berkelanjutan.
Dampak Multi-Sektor dan Risiko Jangka Panjang
Keputusan yang diambil pemerintah akan memengaruhi:
Harga CPO global dan domestik
Stabilitas pasokan energi berbasis biodiesel
Keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan
Jika kebijakan yang dipilih tidak tepat, Indonesia bisa menghadapi konflik kepentingan antar sektor, yang justru melemahkan klaim keberlanjutan industri sawit di mata dunia.













